Kamis, 15 Januari 2009

sesal

Waktu sudah menunjukkan siangnya. Pukul sebelas lebih sepuluh menit saat itu. Orang-orang sudah banyak yang berangkat ke Mesjid untuk melaksanakan sholat Jum’at.
“gimana kabar Bu Rosita ? sudah sehat ?” tanya seorang ibu-ibu kepada mang Fariz, adik dari Ibu Rosita yang berjalan lebih dulu daripadaku.
“belum. Malah sekarang agak parah” jawabnya
Seorang ibu tadi mengkwatirkan keadaan Bu Rosita. Mang Fariz kembali berjalan setelah sempat terhenti sejenak. Kini antara aku dan mang Fariz hampir berdampingan. Aku Tanya ke mang Fariz
“memangnya, Bu Rosita kenapa ?” tanyaku penasaran karena sebelumnya belum tahu kabar terbaru itu
“dia kena penyakit tipus .Mungkin faktor pikiran”
“Deg…” hampir saja jantungku berhenti berdetak. Spontan aku ingat acara semalam. Acara akad nikah putranya, Deni yang berusia 20 tahun dengan seorang gadis yang masih duduk di kelas 2 SMP.
“Barangkali itu penyebabbya “ tebakku
Wajar saja aku berpikir seperti itu karena alasan Deni menikahi gadis belia itu, tiada lain untuk menutupi aib dan tanggung jawabnya setelah ketahuan menghamili gadis bernama Silvi. Sedangkan dia sebenarnya belum siap. Orang tua Silvi lah yang mendesaknya. Silvi sudah tiga bulan mengandung. Dan itu sudah menjadi rahasia umum
Mang Fariz sudah agak jauh meninggalkanku. Teriknya matahari tak terasa lagi saat itu. Rasaku dalam angan. Pikiran berkelana menyongsong perkiraan dan penilaian untuk dipetik dan diambil pelajaran dari peristiwa itu.
Kini, mungkin, ibunda sang penghamil itu terbaring di kamar tidur yang dikawani segelas air bening dan beberapa plastik obat dari dokter di sampingnya. Bu Rosita mungkin tidak menyangka anaknya akan berbuat sepert itu. Di kampungnya, memang Deni terbilang polos untuk ukuran anak-anak muda kawan sepermainannya. Di balik kepolosan itu, terdapat gejala-gejala kerusakan moral. Memang, kepolosan tidaklah menjamin kelurusan aqidah dan kemulyaan akhlak.
Dulu, dia termasuk orang yang sempat rajin melaksanakan sholat. Bahkan tahajud pun dia jabani, terlebih saat dia menginginkan. Bersama kawan-kawannya lah ia mampir dan akhirnya menetap di lembah hitam pekam tempat setan-setan bersemayam.
Deni adalah satu-satunya anak laki-laki dari pasangan bapak Supriadi dengan Bu Rosita. Mungkin karena melebihkan kasih sayang, sehingga segala yang dia mau dituruti. Apa yang dia lakukan disetujui, terlepas dari baik dan buruknya.
Yang namanya seks bebas, narkoba, maling kecil-kecilan, dan perbuatan-perbuatan kriminal lainnya, sudah dia lakoni. Aku tahu itu dari Deni langsung ketika kami sempat adu curhat.
“Sekarang saya ingin berusaha membenahi diri yang selama ini berantakan” itulah salah satu pernyataan yang pernah ia ucapkan padaku”
Kembali pikiranku mengawasi keadaan ibunya yang tak terbayangkan. Alangkah hancur hati dan kejiwaan Bu Rosita bak kaca terlempar batu setiap mengingat kejadian yang menimpa anak laki-laki yang menjadi harapan keluarga itu
Tak terasa mesjid Baitul ‘Aziz sudah berada di depanku Tujuh langkah aku berjalan, aku buka sandal. Aku masukkan kaki kananku sambil membaca do’a masuk mesjid yang kemudan disusul dengan kaki kiri, dan seterusnya hingga menerobos kawanan jamaah yang sebagian besar sudah duduk. Sayup-sayup terdengar lantunan dzikir dan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Aku niatkan sholat Tahiyyatul Masjid
“Allaaahu Akbar !” takbirku dalam sholat Tahiyyatul Masjid
Setelah selesai, aku duduk meniatkan I’tikaf. Aku mulai membasahi bibir dengan kalimat-kalimat mulya, terutama Istighfar . Aku hanyut dalam angan kesedihan mengingat keadaan Bu Rosita. Prihatin. Aku bayangkan kalau kejadian itu menimpaku. Na ‘udzubillah !
Tak kalah sedih, orang yang sedang duduk sambil menunduk di sampingku pun kelihatannya mengalami hal serupa. Kalau mataku hanya berkaca-kaca, isakan tangisnya sampai terdengar meski tidak terlalu keras. Airmata yang menetes di atas sajadah pun sempat aku saksikan. Siapa lagi kalau bukan……. Deni.

Tidak ada komentar: