Kamis, 26 Agustus 2010


Gara – Gara
Ayat – Ayat
Cinta



Al – Jurumiyyah

Shubuh yang cukup menginspirasi. Langit masih penuh dekorasi. Bintang – bintang bervariasi nan indah berseri sejukkan hati tenangkan sanubari. Kelilingi bulan sabit laksana thowwaf di bulan haji. Sisa – sisa indahnya malam hari tadi. Sungguh, kuasa Ilahi. Rasa kantukku sirna oleh sebab sapaan angin yang menghampiri. Meski udara dingin, aku memutuskan untuk mandi. Kemudian aku berwudlu dan pergi ke musholla untuk melaksanakan sholat shubuh berjama’ah. Bogor memang Kota Hujan. Namun saat itu seakan lupa dengan hujannya. Seolah membuktikan, Bogor pun bisa cerah.
Perlahan kulangkahkan kaki sambil menghirup udara pagi yang segar, sehat dan masih alami belum terusik oleh jahilnya asap motor dan kotornya debu jalanan. Udara yang baik sekali untuk kesehatan jasmani dan rohani. Pantas saja Allah menyuruh kita bangun di pagi buta seperti ini. Ternyata saat itulah kita diberi kesempatan menikmati damainya suasana yang menyegarkan. Sepi tanpa ocehan mulut – mulut yang tak berarti. Tentu saja masih banyak rahasia – rahasia yang terkandung dalam waktu dan sholat shubuh.
Setibaku di musholla, aku langsung sholat sunnah fajar seperti yang lain. Disana ada beberapa orang yang sedang sholat sunnah juga. Ada tiga orang. Pak Syarif, Bahtiar, dan Aji, adik Bahtiar. Hingga aku selesai, masih ada yang berdatangan masuk ke musholla tersebut, diantaranya pamanku Usnadi, Rijal kakak Bahtiar dan Aji. Si mas Sunaryo pun tidak absen saat itu. Ayahku menyusul dengan mang Yadi, tukang cendol yang tinggal di sebuah kontrakan kepunyaan ayahku. Iqomah diserukan oleh Bahtiar karena ayahku sudah datang. Beliau sebagai imam. Yang sholat saat itu sembilan orang. Ya, sembilan orang. Penuh dua baris saja merupakan prestasi untuk sholat shubuh berjama’ah di sebuah musholla yang relatif kecil di kampungku. Saat itu hanya satu baris yang terisi
Seusai sholat shubuh, wiridan, dan berdo’a, sedikit demi sedikit orang- orang keluar musholla tak terkecuali aku. Bahtiar mengringi langkahku.
“A....” Bahtiar menyapaku sambil cium tangan.
“Ya...” timpalku sambil menghentikan langkah. Udara masih belum bosan dengan dinginnya.
“Boleh ngaji kitab Al - Jurumiyyah ?” Tanyanya penuh harap
Al – Jurumiyyah adalah salah satu kitab tak berharkat, sering disebut kitab gundul atau kitab kuning karena lembarannya berwarna kuning, yang menerangkan tentang Tata Bahasa Arab.
“Ooh, boleh. Tapi ngomong – ngomong, ada apa, tiba – tiba ingin ngaji kitab Al - Jurumiyyah ?”
“Semenjak baca novel “Ayat Ayat Cinta”. Jawabnya
“Oooh.....”
Padahal aku masih penasaran dengan novel “Ayat – Ayat Cinta”, karena aku belum pernah baca novel tersebut. Sebenarnya novel itu sudah lama ada di rumahku. Bahtiar meminjamnya. Ee....h, malah dia yang tamat duluan. Novel itu kepunyaan kakak perempuanku, Teh Mel yang sekarang di Amerika bersama suami dan anaknya. Suaminya, Syifa orang Kediri. Anaknya perempuan lahir disana, namanya Ayesha. Teh Mel pernah bilang “Novel ini bagus. Ada yang tamat satu malam. Ada yang khotam (tamat) dua kali dan lain - lain”. Lalu ia pun menganjurkanku membaca novel itu. Aku coba baca namun tidak sempat selesai satu lembar pun. Aku tidak suka baca novel saat itu. Novel apapun. Setelah dengar efek dari Bahtiar, aku jadi penasaran.
“Kapan bisa dimulai ?” Tanyanya semangat
“Mmmhh....., InsyaAllah nanti sore atau malam. Bagaimana ?
“Hayu !”
“Oh, ya. InsyaAllah sekitar jam sepuluhan, saya mau beli kitabnya buat kamu. Mau ikut ?”
“Tidak bisa, A. Soalnya bantu ibu di rumah” jelasnya
“Oooh..., ya sudah saya pulang dulu”
“Mampir dulu”. Tawarnya padaku karena rumahnya tidak jauh dari musholla.
“Tidak, terima kasih”
“Assalamu ‘alaikum”
“Wa ‘alaikum salam”

***

Setibaku di rumah, aku ambil mushaf Al – Qur’an ukuran kecil. Selepas membaca Al - Qur’an, aku lanjutkan pemanasan dan senam – senam kecil di taman yang hijau penuh dengan tanaman dan tumbuh – tumbuhan depan rumah. Sayang kalau udara dan suasana yang segar seperti ini tidak dimanfaatkan. Aku memposisikan badanku seperti sedang rukuk. Aku ingat sewaktu mengikuti pelatihan sholat khusyuk. Posisi rukuk dan sujud adalah posisi yang baik untuk menyalurkan dan menyeimbangkan peredaran darah. “Subhanallah....Allah SWT begitu sempurna menciptakan manusia beserta fungsi – fungsi dari anggota tubuhnya. Aturan – aturan dan perintah – perintah, serta larangan – laranganNya pun syarat dengan ilmu pengetahuan dan kesehatan” Ucapku dalam hati penuh kekaguman. Lalu aku lanjutkan dengan gerakan – gerakan lain. “Segaaar...”
Setelah selesai senam kecil, aku lanjutkan dengan menyapu lantai, mengepel, dan mencuci piring. Itulah aktivitasku di pagi hari semenjak kakakku ke Amerika. Oh, ya hampir lupa, menyapu halaman pun merupakan tugasku meski terkadang dilakukan oleh mang Yadi yang kontrakannya sama – sama menghadap taman. Lokasi rumahku dan kontrakan berdekatan malah berdampingan.
Sebelum mandi, aku beristirahat beberapa saat untuk menetralkan suhu tubuh. Aku ambil novel “Ayat – Ayat Cinta” dari rak buku yang telah Bahtiar kembalikan. Aku baca secara rapi dan urut. Judul per judul aku lewati dengan seksama dan penuh penghayatan. Aku ikut menikmati panas teriknya suasana padang pasir bersama Fahri demi ilmu. Tidak terasa, aku sudah menghabiskan dua judul. Aku segera disadarkan oleh agendaku hari ini untuk membeli kitab.
Aku segera mandi, sholat sunnah Dhuha, membaca Al – Qur’an, berganti pakaian, mempersiapkan kebutuhan khususnya uang, lalu berangkat.

***

Jari telunjuk tangan kananku menunjuk ke arah jalan. Angkot hijau bernomor 13 pun berhenti.
“Bismillaahirrohmaanirrohiim” Kaki kananku mengawali masuk angkot jurusan Ramayana - Bantar Kemang itu. Kupilih tempat duduk yang berada di pojok. Aku ambil “novel “Ayat – Ayat Cinta” dari dalam tas yang sengaja aku bawa untuk mengisi kekosongan perjalanan menuju Pasar Bogor sekaligus memenuhi hasrat penasaranku terhadap judul lanjutan yang tersisa. Aku buka kaca jendela sedikit, agar udara segar mampu masuk. Aku mulai membaca dan menikmati novel buah karya seorang sarjana Al – Azhar. Biasanya aku menggunakan motor. Tapi kali ini, aku memilih untuk naik angkot. Selain karena alasan polusi, juga ingin sekalian meneruskan bacaan novel.
Angkot melaju dengan kecepatan sedang. Tidak cepat, tidak juga terlalu lambat. Cocok dengan suasana hati yang sedang bergelut dengan alam fiktifnya suasana Mesir. Udara yang masuk begitu sejuk. Aku nikmati terus isi novel sampai akhirnya aku memandang keluar. Di sebelah kanan terdapat Sempur. Setiap hari minggu pagi banyak orang yang berkunjung kesini sambil lari pagi. Ada yang bawa bola, sepeda, raket, dan lain – lain. Karena disini tersedia lapangan sepak bola, Badminton, Voli, dan Basket. Pengunjung yang datang dari kalangan anak –anak, remaja, sampai lansia. Sebelah kirinya aku menangkap pemandangan yang jauh lebih indah. Kebun Raya Bogor. Aku bersyukur diberi nikmatnya pandangan, pendengaran, dan hidup di kota Bogor yanng sejuk meski sekarang hampir sama dengan Jakarta. Panas. Tapi tetap masih banyak tempat untuk berteduh di daerah Bogor. Banyak tempat - tempat wisata yang sanggup melepas kepenatan karena rutinitas kesibukan sehari – hari.
Sementara kututup novel dan kuberi pembatas. Aku melihat Hotel Salak di sebelah kanan jalan. Lalu Balaikota. Gereja Katedral. Dan sebelah kirinya tidak jauh dari Gereja Katedral terdapat Gereja Zeboath. Lebih jauh ke depan ada Gedung LIPI, museum Botani. Aku pun melewati Museum Tanah dan Museum Zoologi. Semua tu peninggalan – peningalan jaman dulu. Bogor punya sejarah. Namun banyak generasi muda yang kurang perhatian bahkan tidak peduli dengan sejarah. Tidak mau tahu dengan perjuangan – perjuangan para pahlawan yang merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Akhirnya, aku sampai di depan pintu gerbang utama Kebun Raya Bogor. Aku berhenti disitu. Aku menyebrang ke arah Robinson Departement Store. Toko Kitab Al – Barokah ada disamping Robinson lantai bawah, pinggir jalan. Tak sengaja aku melihat bagian belakang surat kabar yang sedang dibaca seseoang. Ada pengumuman bahwa film “Ayat – Ayat Cinta” akan tayang di seluruh Indonesia hari kamis depan.
“Info yang menarik” Gumamku.
Aku percepat langkahku menuju toko kitab. Aku ingin segera pulang dan memberitahu Bahtiar tentang info yang baru saja aku dapat.

Tayangan Perdana
Film “Ayat – Ayat Cinta”

Sudah satu minggu, kami melaksanakan kegiatan mengkaji kitab Al – Jurumiyyah. Hari ini hari kamis. Tentu saja, aku tidak lupa dengan hari pertama film “Ayat _ Ayat Cinta” yang diputar hari ini serentak seluruh Indonesia. Kami bersiap – siap untuk berangkat. Meski Bahtiar kurang sehat, namun semangat untuk menyaksikan film “AAC” tak surut begitu saja. Dengan kekuatan yang ada, dia pun menemaniku berangkat ke bioskop Bogor Trade Mall (BTM).
Setelah tiba disana, ternyata fllm yang dimaksud sudah mulai beberapa jam lalu sejak pukul 11.30. Kami datang pukul 13.30. Ada lagi pukul 13.45. Antrian sudah dilakukan sebelum kami datang. Kami kehabisan tiket. Diputar lagi pukul 16.30. Kalau menunggu sampai sore, kelamaan. Akhirnya kami memutuskan untuk menontonnya di Galaxy Theatre. Kami menapaki eskalator demi eskalator. Langkahku yang cepat terpaksa harus diperlambat karena mengingat Bahtiar yang tidak kuat berjalan. Aku menoleh ke belakang, ternyata jarak antara aku dengannya agak jauh. Aku kasihan melihatnya. Sambil menunggunya, aku beristighfar.
“Apakah tidak berlebihan perbuatanku ini ya Allah...., sehingga berjuang keras hanya untuk menyaksikan film “Ayat – Ayat Cinta” ?” lirihku
Aku niatkan saja untuk mengikuti pola hidup Fahri. Meski fiktif, tidak ada salahnya kan direalisasikan dalam kehidupan sehari – hari ? Aku berusaha mengambil pelajaran dan nasihat – nasihat di dalamnya.
Setelah tiba di Galaxy, ternyata sudah mulai. Aku semakin kasihan melihat Bahtiar yang kelihatan semakin loyo. Kami bersepakat pulang. Namun di tengah perjalanan, kami berubah pikiran. Aku membelokkan stang motor ke arah Lakeside, yang kalau diteruskan bisa sampai lapangan Golf. Di sana kami istirahat dan bermusyawarah tentang langkah berikutnya. Kami duduk di atas bangku di bawah pohon yang tersedia. Suasana begitu nyaman, tentram, dan sejuk. Bermenit – menit bergelut dengan ngototnya sinar mentari, berpetualang bersama kepulan asap motor, kini hampir lupa dengan semua itu. Nikmatnya...., sungguh bukan main. Aku menarik nafas dalam – dalam. Melupakan segala kepenatan. Alhamdulillah.
Setelah berdiskusi, kami memutuskan untuk kembali ke BTM. Lagi – lagi di tengah perjalanan kami punya ide baru.
“Bagaimana kalau kita tunda saja besok ?” Tanyaku
“Boleh. Lagi pula saya sudah lemas” jawabnya.
Motor melaju santai. Kami menikmati kelelahan bersama udara segar melewati jalur rumah sakit BMC yang penuh pepohonan. Kami berusaha tersenyum sambil berharap agar besok tidak ada kendala apapun. Mungkin Allah SWT punya kehendak lain. Kita tidak tahu rahasia Allah. Semoga ini yang terbaik. Kami menikmati suasana dengan penuh rasa syukur atas segala nikmat dan karunia yang ada. Ngobrol – ngobrol kecil kami lakukan. Sekali - kali aku hibur Bahtiar dan memotivasinya. Motor pun aku percepat namun tidak terelalu ngebut. Sambil berkata “Semangat !”.

***

Inilah hari yang dinanti – nanti. Hari jum’at. Hari kedua tayangan film “Ayat – Ayat Cinta”. Aku meminta Bahtiar untuk berangkat terlebih dahulu dan sholat jum’at di sekitar sana agar sempat antri membeli tiket jam 12.45, jam tayang pukul 13.15 menit sesuai yang aku lihat kemarin.
Setelah sholat jum’at, aku langsung meluncur tanpa pulang ke rumah terlebih dahulu. Aku sengaja sholat jum’at memakai celana panjang yang dilipat lalu ditutup dengan kain sarung. Setelah selesai sholat, aku titipkan sarung tersebut di pondok tempat temanku belajar. Peci aku kantongi karena terbuat dari kain bukan peci atau songkok nasional seperti yang sering dipakai oleh Bung Karno. Aku berjalan cepat namun tetap terkendali. Keringat mulai bermunculan sebutir demi sebutir. Bayangkan saja, untuk mencapai Teater “Galaxy” dari arah rumah kami harus melewati jalan yang turun kemudian setelah melewati jembatan gantung, ada jalan yang baik. Perjalanan mencapai kurang lebih seperempat jam.
Setibanya di Galaxy, aku menemui Bahtiar yang sudah mendapatkan tiket masuk. Bahtiar menceritakan kejadian yang menimpanya saat antri. Ia terdorong oleh penjaga yang berbadan kekar. Hampir saja ia terjatuh karena kondisinya memang belum pulih, jadi kekuatan tubuhnya melemah. “Ya, sudah.... itu sebagian perjuangan” kataku.

***

Film pun dimulai. Aku menyaksikannya dengan seksama. Semua penonton pun sama. Seakan tidak ingin sekejap pun tertinggal. Secara refleks kulihat kanan – kiri, depan – belakang, para penonton membawa makanan kecil dan minumannya. Kami salah satu yang tidak membawa makanan atau minuman. Sempat terlintas dalam benak “Lihat saja nanti ! aku akan bawa nasi timbel bersama ikan asin, lalap, dan sambalnya”. Tapi kemungkinan kecil aku membawa semua itu kecuali masuk ke Kebun Raya Bogor. Aku tersenyum sendiri. Hah, aku jadi ketinggalan beberapa menit.
Kalau mau dipikir – pikir, aku baru pertama kali ke bioskop. Itu karena aku sangat selektif terhadap film yang aku tonton.
Selesai menonton film AAC, kami terasa memiliki semangat baru, meski di ujung acara, banyak penonton yang menangis karena kisah yang berakhir menyedihkan itu. Seakan terkena hipnotis, kami berdua bertekad ingin kuliah di Universitas AL – Azhar Kairo Mesir.

BEASISWA AL – AZHAR

Sore itu aku sedang kalut. Aku yang selama ini menjalani hidup sebagai penyandang predikat pengangguran, merasa jenuh dengan aktivitas yang itu-itu saja. Lima bulan yang lalu, aku berhenti mengajar dari lembaga kursus yang masih berlokasi di daerah Bogor. Aku mengundurkan diri. Aku belum bisa beradaptasi dengan suasana kerja yang monoton.

Pada malam harinya aku mendatangi warnet yang cukup jauh dari rumahku. Aku hendak mencari informasi tentang bagaimana memulai usaha tanpa modal terlalu besar. Selain itu aku membuka blog yang aku buat untuk mempromosikan keahlianku dalam bahasa inggris, bahasa Arab, dan Acting. Aku akan buka les privat.
Selang beberapa menit, aku buka Yahoo Messenger untuk chating dengan kakakku yang sedang menjalani beasiswa S3 di Amerika. Biasanya dia online. Kakakku tinggal di Indiana Pollis. Aku mau minta saran darinya.

Ternyata dia belum online. Aku lanjutkan mencari dan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapat info tentang bagaimana memiliki usaha sendiri. Hari - hari sebelumnya aku sering mencari info beasiswa ke luar negeri di internet. Namun aku pun menyadari bahwa ilmuku belum seberapa untuk mengikuti beasiswa ke luar negeri, meski itu merupakan salah satu impianku. Aku ingin ke Mesir, Belanda, Jerman, dan Turki.
Kurang lebih seperempat jam, kakakku menyapa.
"Assalaamu 'alaikum".

Alhamdulillah, akhirnya dia online juga
"Wa 'alaikum Salam". jawabku
"Apa kabar ?"
"Alhamdulillah, sehat. Mas sendiri gimana ?"
"Alhamdulillah, sehat juga. Bagaimana kabar orang tua ?"
"Mereka juga sehat. Alhamdulillah"
"Oh, ya mas. Aku sekarang lagi bingung. Aku ingin ngaji kitab gundul di Mesir.
Spontan mulutku mengeluarkan kalimat itu. Alasanku mengatakannya karena untuk kuliah disana kemungkinannya sangat kecil. Aku tahu syarat - syaratnya belum aku penuhi. Memang, latar belakangku pondok pesantren, tapi tradisional bukan modern. Selain itu, ijazahku Paket C setara SMU. Malah ketika datang ke Depag Bogor dan bertanya tentang beasiswa, kata salah seorang petugas Depag, belum ada informasi tentang beasiswa.
"Loh ? tidak usah ngaji kitab gundul disana. Cukup di Indonesia saja. Banyak kok yang ahli. Mendingan ikut beasiswa kuliah ke sana . ke Al-Azhar"
"Ke Al-Azhar ?" tanyaku kaget. Karena itu salah satu impianku. Aku ingin kesana. Ingin menimba ilmu disana
"Ya" sahutnya
"Caranya ?". tanyaku lagi
"Lihat informasinya di situs Ditpertais, Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam"
"Ok !". Dengan semangat aku buka situs Ditpertais.
Aku baca perlahan. Ternyata banyak. Aku masukkan ke Flashdisk. Aku akan buka di komputer yang ada di rumah. Hanya aku lihat syarat-syaratnya terlebih dahulu. Ternyata harus menguasai bahasa Arab, hafalan Al-Qur'an, dan Ilmu Pengetahuan Agama. Pelaksanaan seleksinya pada tanggal 10 dan 11 Juni di Depag pusat, Jakarta. Ada juga yang di UIN dari berbagai daerah. Aku pilih di Jakarta karena paling dekat dari Bogor, tempat tinggalku. Aku mempunyai waktu sekitar dua puluh satu hari lagi. Pada saat itu tanggal 18 Juni. Tidak lama aku berada di warnet. Aku langsung meninggalkan tempat setelah sebelumnya pamitan. Aku akan pelajari dulu pengumuman itu. Dengan semangat aku berusaha memenuhi persyaratannya. Aku lupa dengan keinginanku sebelumnya yang ingin membuka usaha sendiri. Aku hafalkan satu juz dari Al-Qur’an. Juz ‘Amma. Aku memang belum hafal semua surat dari Juz ‘Amma. Aku pun menambah kosa kata dari bahasa arab. Bahasa Arabku pasif. Aku hanya bisa membaca kitab berbahasa arab gundul dan mengartikannya. Untuk percakapan masih terbata-bata. Aku melatih percakapanku dalam bahasa arab. Aku latihan membuat kalimat sendiri dalam bahasa arab. Aku mencari kesana-kemari kursus bahasa arab. Namun waktunya terlalu lama, selain biaya yang dikeluarkan cukup banyak bagiku yang tidak memiliki uang. Aku cari kaset, VCD percakapan dalam bahasa Arab, serta film berbahasa Arab. Aku belajar otodidak. Tekadku sangat kuat. Aku ingin ke Al-Azhar !. Hari-hariku tidak lepas dari melakukan persiapan menghadapi ujian seleksi beasiswa ke Al-Azhar.

Tanggal 10 Juni, aku berangkat dari rumah pukul enam lebih seperempat. Tidak sesuai yang dijadwalkan. Rencananya aku ingin berangkat pada pukul setengah enam pagi. Ada pekerjaan rumah yang harus aku kerjakan dan sarapan cukup makan waktu. Ditambah mandi pula. Salahnya, aku tidur terlalu malam, karena waktu itu aku memang sulit tidur. Padahal ujian dimulai pada pukul 8 : 00 pagi. Pukul delapan kurang seperempat peserta harus sampai disana.

Sampai di kereta pukul tujuh. Aku mendapat tempat duduk. Selama hampir 15 menit, kereta tak kunjung beranjak dari relnya.

“Astaghfirullaah...” Desisku pelan.

Aku memohon agar kereta segera berangkat. Aku takut terlambat. Kereta masih berdiam diri di tempatnya. Para penumpang banyak yang menggerutu. Suasana menjadi tidak bersahabat. Ditambah penjual asongan yang berkeliaran di dalam kereta sambil menjajakkan dagangannya. Pengamen dengan lantunan-lantunannya yang cukup mewakili isi hati rakyat. Mereka (para pengamen) memang merakyat. Kebanyakan. Aku hanyut dalam lantunan lagu-lagu dari para seniman jalanan itu. Aku Kereta mulai sedikit-sedikit merangkak berjalan ke arah Jakarta .



“Alhamdulillah. Akhirnya kereta berjalan juga”. Aku usap wajahku yang sempat pucat



Aku lihat jam tangan. Pukul 7 : 26 menit. Sepertinya untuk sampai kesana pukul delapan kurang seperempat, itu kemungkinan kecil. Perjalanan kesana memakan waktu sekitar setengah jam lebih dua puluh menitan. Kalau tidak salah. Aku hanya pasrah. Hatiku terus berusaha tidak berpaling dari menyebut asma Allah SWT.

Ada seorang ibu-ibu membawa anaknya. Aku persilakan beliau duduk. Aku berdiri bersama para penumpang yang lain yang tidak mendapatkan tempat duduk. Aku tundukkan kepalaku, Aku berdo’a agar tidak ada sesuatu yang tidak diinginkan. Semoga semua berjalan lancar. Sekali-kali aku menatap ke arah jendela. Kulihat aktivitas orang-orang diluar kereta. Aku persiapkan jawaban ketika ditanya, ‘kenapa terlambat’.

Sampai di stasiun Juanda pukul 8 : 20 menit. Aku bertlari dari stasiun menuju kantor Depag, tempat seleksi diadakan. Disana banyak orang yang sedang duduk-duduk diluar. Ada yang sedang menghafal Al-Qur’an, membaca buku, ada juga yang sekedar berbincang-bincang santai. Nampaknya seleksi belum dimulai.

Aku hampiri tiga orang laki-laki yang sedang duduk di sebuah bangku yang disediakan di dekat taman, halaman depan tempat Panti Asuhan Bhakti Sasana (kalau tidak salah namanya). Seleksi diadakan disana. Tidak jauh dari kantor Depag. Ternyata dari urutan nomor 01 sampai 200 sudah dimulai. Sedangkan nomor urutku 039. Aku tanya ke petugas yang sedang berdiri di depan pintu, tempat seleksi diadakan. Pria berkumis yang tampak sangar padahal ramah itu menjawab



“Nanti saja gelombang kedua. Setelah ini. Setelah semuanya selesai”

“Bisa, ya pak ?”. tanyaku penuh panik.

“bisa”. Sambil senyum, sehingga raut wajah yang aku anggap dapat membuat para penjahat takut itu telah redup. Benar. Kita jangan berburuk sangka. Selain itu, dengan senyum dapat mencairkan suasana.

“Terima kasih, ya pak”

“sama-sama”

Aku meninggalkan tempat itu sambil berkali-kali mengucap hamdalah.

“Alhamdulillah. Jadi aku punya waktu untuk mematangkan pelajaran”. Kataku sambil mencari tempat duduk yang teduh dan nyaman.


Aku sempatkan sholat dhuha di Musholla yang tidak jauh dari situ. Hatiku sejuk. Tenang. Allah selalu menolong hamba-Nya yang kesulitan. Allah mengetahui segala sesuatu. Aku merebahkan tubuhku diatas karpet berwarna biru. Dari luar, angin lembut menyapaku seakan menyuruhku untuk tetap tenang, tawakal, namun terus berusaha dan berdo’a.

Sekitar Satu jam aku berada di Musholla sambil mengulang pelajaran, aku keluar dan duduk di depan Bhakti Sasana sambil menunggu giliran. Ada seorang lelaki yang keluar dari dalam. Tidak lama lagi giliranku dan orang-orang yang belum dites.

Selang dua puluh menit, aku masuk dan yang lain pun masuk. Aku ikuti tes tertulis. Mengarang dalam bahasa Arab. Setelah tes tertulis selesai semua, dilanjutkan dengan tes lisan. Hafalan Al-Qur’an dan membaca artikel berbahasa arab gundul.



“Alhamdulillah. Semuanya beres.Tinggal menunggu pengumuman. Aku pulang dengan penuh harapan. Aku terus berdo’a. Hasil tes akan diumumkan pada tanggal 30 Juni. Yang berhasil lulus akan dilanjutkan dengan tes berikutnya. Tes Muqobalah di Kedubes Mesir. Diambil 110 orang dan disaring disana menjadi 90 orang untuk S1. 20 orang untuk S2.

Tanggal 30 Juni, aku menelpon ke kantor Depag pusat di Jakarta. Ternyata belum keluar hasilnya. Katanya tanggal 10 Juli. Aku datang ke warnet pada tanggal itu. Katanya bisa dilihat juga di situs Ditpertais. Aku buka dan aku cari namaku.

Aku temukan namaku !

“Alhamdulillah !”. Aku langsung bersujud syukur saat itu juga. Tak peduli orang lain melihatku.

Aku lihat kembali, ada berapa orang yang lulus. Saat itu aku dapati 1165 orang.

“Apa ?”. tanyaku mengerutkan kening penuh tanya

“Banyak sekali yang lulus !”

Aku lihat masing masing nilai. Aku lihat batas nilai yang lulus. Nilai paling tinggi adalah 95 dan yang paling rendah adalah 74. Aku langsung lihat nilaiku. Nilaiku hanya 64.

Aku lemas. Aku lelah. Otakku bagaikan dihancurkan oleh Rudal Iran dan hatiku bagai tertimpa serangan Israel

“Astaghfirullah... Astaghfirullaaah...Astaghfirullaahal’adziim”

Aku tutup layar monitor. Aku bayar dan aku langsung naik motor yang aku bawa. Di perjalanan, aku ingat esok harinya ada audisi film “Ketika Cinta Bertasbih” di Gor Ragunan Pasar Minggu Jakarta . Rencananya syuting film itu akan diadakan di Mesir. Audisi yang aku nanti-nanti kini telah tiba. Sosok yang aku kagumi bernama Azzam akan aku mainkan secara total dalam audisi itu.


Audisi Film “Ketika Cinta Bertasbih”

Sesuai tekad setelah dinyatakan tidak lulus dalam tes beasiswa ke Al – Azhar, aku berangkat menuju Ragunan untuk mengikuti audisi “Ketika Cinta Bertasbih”. Aku berangkat sekitar pukul sembilan pagi agar bisa ikut sholat jum’at disana dan tidak tertinggal antrian. Aku persiapkan diri termasuk melatih karakter Khoirul Azzam dan memakai pakaian sesuai karakter tersebut. Aku mengenakan kemeja dan sepatu berwarna hitam, celana panjang, dan tas.
Hati penuh harap dan cemas. Berharap agar cita – cita yang ditanamkan sejak dulu untuk menjadi seorang aktor dan berpartisipasi dalam dunia dakwah segera terwujud. Keinginanku untuk menghirup udara Mesir dapat tercapai. Berbalut rasa cemas karena tidak tahu apa yang akan diujikan. Selain itu aku pun berpikir andai aku tidak terpilih, cara apa saja yang harus aku tempuh untuk dapat pergi ke Mesir. Aku hanya berusaha menenangkan diri dan mengucap kata hauqolah, Laa Haula Wa Laa Quwwata Illaa Billaah........
Tekadku sudah bulat untuk berangkat. Aku masukkan novel berjudul “Ketika Cinta Bertasbih” 1 dan 2, supaya aku dapat membaca ulang di angkot dan di kereta.
Sebelum berangkat, aku sempatkan diri menatap sang langit. Kalimat Bismillaahirrohmaanirrohim mengiringi langkahku. Aku bersemangat. Seakan calon Khoirul Azzam yang sedang dicari akan segera tiba di lokasi audisi mematahkan semangat para kandidat. Menyingkirkan dan menyisihkan calon – calon Azzam yang lain.
Seperti biasa aku menghentikan lajunya angkot hijau bernomor 13 yang melintas di depan Gang Bakso hanya dengan telunjuk. Angkot pun siap kunaiki. Bangku kosong siap aku isi. Para penumpang lain harus sudah siap dan rela menggeserkan badannya demi penumpang pendatang baru.
Aku nikmati perjalanan. Aku ambil novel KCB dalam tas. Aku buka bab – bab yang kira – kira akan keluar pada audisi nanti. Aku teringat masa sekolah dulu. Membaca buku kalau mendekati ujian dan dipilih bagian – bagian yang kira – kira akan muncul pada soal.
Udara bersahabat dari arah luar menyusup melalui jendela yang terbuka sedikit menyapaku seakan memberi dukungan atas perjalananku ini.
Tak terasa sudah sampai dekat Hotel Salak. Itu artinya aku harus mengeluarkan ongkos dari dalam saku dan siap – siap turun di depan Balaikota kemudian berjalan menuju stasiun.
Sesampai stasiun aku membeli tiket jurusan Jakarta Kota. Beberapa menit aku menunggu, akhirnya kereta datang juga. Meski awalnya harus berdiri karena banyaknya penumpang, aku tetap semangat dan merasa senang. Stasiun demi stasiun berlalu. Penumpang semakin berkurang karena banyak yang turun dan sedikit yang naik. Aku pun mempunyai kesempatan duduk. Aku keluarkan novel dan aku baca.
Aku turun di Stasiun Pasar Minggu. Aku duduk di bangku yang sudah tersedia dan mengirim pesan singkat kepada Abel, temanku yang hendak mengantar pacarnya ikut audisi KCB. Abel bersama pacarnya rencana berangkat setelah sholat jum’at. Aku tanyakan, kalau dari stasiun Pasar Minggu menuju GOR Ragunan harus naik apa saja. Pesan belum terkirim. Selalu tertunda. Aku coba tenang dan kembali membuka novel. Waktu terus berjalan bahkan seakan berlari sementara tak ada satu sms pun dari Abel menyambut pertanyaanku. Aku tanya ibu – ibu setengah baya. Setelah diberitahu, aku berjalan mengikuti petunjuk si ibu tadi melewati petugas. Sambil menunjukkan tiket, aku bertanya pada petugas tersebut sekedart untuk meyakinkan dan memastikan tentang arah ke GOR Ragunan. Jawabannya berbeda dengan si ibu tadi. Aku bimbang. Di luar stasiun aku kembali bertanya tentang hal yang sama pada orang yang ada disana, tepatnya pada tukang ojek. Heran ! Jawaban dari ketiga orang tadi tidak ada yang sama.
Akhirnya aku mengikuti petunjuk yang terakhir karena dinilai efisien tidak terlalu jauh dan tidak banyak naik kendaraan, namun aku harus rela berjalan cukup jauh. Aku memasuki perumahan. Nampaknya aku salah jalan. Aku mencari orang untuk ditanya. Kutemukan orang tua yang kelihatannya keturunan Cina. Aku tanya beliau. Orang tersebut menganjurkanku untuk naik kendaraan lagi, kalau berjalan kaki cukup melelahkan. Aku semakin bingung. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.15. Aku harus bertarung melawan waktu agar tidak kesiangan dan bisa ikut sholat jum’at. Badan sudah gerah. Keringat tak hentinya keluar membasahi pakaianku. Berpikir sejenak, aku langsung naik angkot yang aku lupa lagi nomor dan warnanya sekarang.
Dalam perjalanannya, alhamdulillah, lancar meski tiga kali naik kendaraan. Kini aku tiba di GOR Ragunan. Aku harus berjalan kaki menuju lokasi audisi. Aku nikmati sambil berlatih membayangkan dan memerankan tokoh Azzam. Bagaimana cara Azzam berjalan pun aku lakukan walau hanya perkiraan demi mendapat peran tersebut dan bisa berangkat ke Mesir.
Aku tiba di tempat pendaftaran sekitar pukul 11. 15. Aku tanya ke penjaga pendaftaran berkerudung pink tentang syarat – syaratnya, soalnya aku pernah daftar melalui internet. Ternyata jawaban penjaga tersebut, aku harus daftar ulang dan menyerahkan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
“Kalau disini, tempat fotokopi dimana ya ?” tanyaku pada penjaga pendaftaran
“Mas jalan saja lurus.... keluar gerbang tinggal nyebrang. Nah, Sebelah kanannya tempat fotokopi. Tepat berdampingan dengan warnet”. Jawabnya
“Terima kasih, Mbak”.
“Sama – sama. Oh, ya. Sebentar lagi tutup dulu, istirahat. Nanti dilanjutkan setelah sholat jum’at”.
“Baik, Mbak. Mari... Assalaamu ‘alaikum”
“Mari... Wa ‘alaikum salaam”.
Aku ikuti sarannnya. Setelah selesai semua, aku lanjutkan mendatangi mesjid untuk sholat berjama’ah. Aku istirahat sebentar melepas lelah dan menikmati kesejukan angin. Istirahat selesai, aku ambil wudhu. Segaaar.... !!! Mantap. Bayangkan saja, setelah sekian lama kepanasan dan kelelahan, setelah disejukkan dengan istirahat kemudian dilanjutkan dengan berwudlu, siapa yang akan mengingkari kemantapan ini ?!.
Aku pilh posisi duduk di barisan paling depan dekat muadzin. Aku niat i’tikaf dan mengulang hafalan Al – Qur’an. Setelah beberapa saat berjalan, khotib naik mimbar untuk berkhutbah. Tema yang diangkat adalah tentang “Kepribadian Muslim”. Aku hayati khutbah. Tiba – tiba air mataku menetes. Memang bukan tanpa sebab aku menangis. Terbayang perjuanganku dalam ikut tes beasiswa ke Al – Azhar beserta kegagalannya. Kini aku dalam perjuangan pula. Semoga yang ini berhasil. Harapannya, meski aku tidak terpilih menjadi tokoh Azzam, setidaknya menjadi teman – teman Azzam selama di Mesir pun aku sudah siap.
Sholat jum’at sudah usai. Aku rebahkan tubuhku di teras sambil memandang ke arah atap mesjid. Pikiranku sedikit terganggu. Ada rasa tidak percaya diri karena mengingat posturku yang standar, tidak tinggi. Aku segera singkirkan pikiran yang dapat melumpuhkan semangatku kemudian memakai kaus kaki, sepatu, dan langsung pergi mendaftar. “Bismillaahirrohmaanirrohiiim”.
Antrian cukup penuh. Aku pun ikut antri. Tidak lama perempuan berjilbab di depanku menoleh ke arahku.
“Ambil peran apa, mas ?” Sapanya ?
“Azzam. Khoirul Azzam. Kalau Mbak ?”
“Husna. Ayatul Husna”
“Berarti adikku, dong ?”
“Ya, begitulah”
Kami berdua tersenyum.
“Namanya siapa ?. Dari mana ?”
Ia pun menjawab kedua pertanyaanku tersebut. Namun aku lupa lagi sekarang. Dulu masih ingat. Kalau tidak salaah.... namanya Meyda. Asal kotanya... ntah Depok... Bandung....atau apa. Lupa lagi. Kemudian ia mengajukan pertanyaan

“Syaratnya apa saja, ya mas ?. Kalau saya pernah daftar melalui internet bagaimana ?”
Pertanyaan itu sama dengan pertanyaanku sebelumnya kepada penjaga pendaftaran. Aku jawab dengan jawaban persis seperti yang dikatakan penjaga tadi. Akhirnya ia langsung berjalan menuju tempat fotokopi. Aku lupa tidak menanyakan nomor HP-nya. Siapa tahu dia lolos.
“Ah, mudah – mudahan nanti ketemu lagi”.
Antrian semakin berkurang hingga akhirnya giliranku menghadap penjaga dan mendaftar ulang. Sebagaimana peserta yang lain, aku pun mendapat nomor peserta dan peran yang dipilih.
Aku menunggu di tempat yang telah disediakan. Sambil menunggu, pihak panitia mengadakan acara doorprize. Beberapa peserta diminta naik ke atas panggung yang tingginya kira – kira setengah meter, panjang dan lebarnya kurang lebih 3 x 4. Biasanya aku selalu aktif dalam acara doorprize seperti itu. Seringkali aku menjadi pemenangnya, Alhamdulillah. Tapi saat itu tidak. Entah kenapa, mungkin karena peran Azzam yang sedang aku tanamkan tidak ingin tercemari oleh tingkah polahku yang selalu nekad dan berani maju itu. Memang aku paham dengan sikap Azzam yang selalu berpikir maju akan tetapi ia tetap menjaga harga diri. Jadi sebelum giliranku masuk untuk casting, terlebih dahulu aku mendalami dan memerankan tokoh Azzam di luar. Peserta yang maju ke depan diminta melaporkan berita kejadian laksana reporter. Aku yang memang suka dengan berbicara di depan umum termasuk membacakan berita merasa terpanggil, akan tetapi aku tetap tidak ingin terpengaruh. Yang aku inginkan saat itu adalah lolos mendapat peran Azzam dan pergi ke Mesir.
Sebelah kananku ada perempuan cantik berwajah hampir kearab-araban memakai jilbab. Sungguh anggun dan indah dipandang. Aku yang memang sedang mencari perempuan seperti ini untuk calon pendamping hidup, lagi – lagi tak mau gegabah teringat peran yang aku pegang. Sesekali kami saling tegur – sapa namun aku kembali fokus terhadap peran.
Cukup lama menunggu, akhirmya giliranku masuk bersama sembilan orang yang lain. Di dalam aula, kami diarahkan oleh koordinator, apa saja yang akan diperankan. Ceritanya kami sedang terdampar di sebuah pulau. Tidak ada kapal yang melintas. Akhirnya diantara kami ada yang stress, marah – marah, ada yang sombong dan menceritakan kehidupan mewahnya di rumah. Selain itu ada yang diam dan ada juga yang bijak menenangkan situasi dan berpikir serta berusaha mencari jalan keluar. Aku memilih menjadi peran yang bijak.
Setelah diberi kode, kami bersiap – siap berdiri di depan pintu ruang casting. Salah seorang kordinator menyarankan agar mengatakan sesuatu atau berteriak penyemangat. Saat masuk aku berteriak histeris “Allaahu Akbar !!!”.
Setiap peserta memperkenalkan diri. Semua menggunakan bahasa Indonesia kecuali aku. Entah kenapa aku memperkenalkan diri dengan menggunakan bahasa Inggris. Mungkin aku ingin menunjukkan kelebihanku. Semoga dengan kelebihan itu mendapat nilai plus. Tapi kenapa juga tidak menggunakan bahasa Arab ?, padahal aku pun bisa bahasa Arab. Barangkali jarang digunakan, aku jadi lupa dengan bahasa Arab. Bahasa Inggris pun refleks tidak dipersiapkan dahulu sebelumnya kecuali sedikit saat menunggu giliran. Sudahlah.
Kini saatnya kami memerankan apa yang diarahkan panitia. Setelah selesai, kami bersepuluh mendapat amplop berisi kartu lulus atau tidak. Pas dibuka, ternyata aku lulus. Hanya dua orang yang lulus. Keduanya perempuan. Yang satu peran Anna dan yang satu lagi sebagai Eliana. Bagi yang tidak lulus diarahkan untuk mengambil sertifikat telah mengikuti audisi.
Keluar dari Aula, aku tidak tahu harus berbuat apa. Apa yang harus aku lakukan ?. Cara apa lagi yang harus aku tempuh untuk pergi ke tanah Mesir ?. Kalut, kacau, galau, gundah, gelisah, cemas, bercampur seakan bekerja sama membentuik kata “stress” dan “putus asa”. Nafsuku berbisik “Aku menyesal tidak ikut maju untuk mendapatkan hadiah doorprize. Aku menyesal karena tidak berkenalan dengan perempuan yang duduk di sampingku saat menunggu giliran masuk”. Pentesalan itu tidak berarti apa – apa. Kata “kecewa” tidak mampu mengubah takdir dan tidak sanggup mengantarkanku ke negeri Piramid.
Aku memutuskan untuk sholat ‘Ashar. Aku berjalan menuju mesjid dengan lemas. Air wudlu cukup mengobatiku. Ingat pada Allah menjadi penawar bagiku. Aku nikmati setiap takbir, bacaab, dan gerakan sholat. Air mataku keluar sedikit namun aku berusaha menahannya agar tidak mengganggu bacaan sholat. Barulah setelah sholat, aku menangis sepuasnya namun tetap menjaga etika seorang muslim. Menangis karena dosa. Sedih karena belum bisa memberi kabar bahagia kepada kedua orang tua dan keluarga. Aku belum mau pulang sebelum mendapat keputusan apa yang akan aku lakukan sepulang dari GOR Ragunan. Aku harus tetap semangat.
Memang dalam kompetisi ada menang ada kalah. Dalam persaingan dan hidup ada sukses ada gagal. Kita harus terima semua kenyataan seperti ini. Yang jelas, bagaimana agar kita bangkit dari kegagalan dan jangan larut dalam kesedihan akibat kekalahan. Semua telah diperhitungkan oleh yang Maha Kuasa. ALLAH SWT tidak akan menyia-nyiakan perjuangan hamba-Nya. Terlintas dalam benak “Aku ingin menulis Novel !”
Aku pulang dan menikmati perjalanan. Meski harus berdiri dan berdesakan di dalam kereta tak menyurutkan semangatku untuk berkarya. Aku tetap optimis !. Aku tetap tersenyum menatap masa depan. Semoga ALLAH SWR membimbingku ke jalan kesuksesan dan keselamatan dunia dan akhirat.

***
Pada malam final, aku perhatikan para finalis satu persatu dengan seksama, barangkali ada yang kenal, pernah bertemu, atau satu group saat casting. Tepat ! Aku melihat seorang perempuan berjilbab yang aku anggap adalah orang yang antri di depanku dan menanyakan syarat – syarat pendaftaran serta aku tunjukkan tempat fotokopi berada. Paling tidak mirip dengan perempuan yang aku maksud. Semakin mewarnai kisah hidupku saja. Sayangnya, aku tidak menonton acara final sampai akhir karena kamar ibuku dekat dengan ruangan yang ada Tvnya. Ibuku sudah tidur. Aku kwatir mengganggunya.
Keesokan harinya tersiar kabar di infotaintment tentang finalis yang lolos dan mendapat peran lima bintang KCB, salah satunya Meyda Safira. Ya, aku semakin menduga bahwa dia adalah orang yang antri di depanku. Kalau tidak salah.

Belum ke Mesir, Pare pun jadi

Semenjak semua kejadian itu aku hampir kehilangan semangat. Tak ada obsesi lain lagi untuk pergi ke Mesir. Aku teringat kata – kata kakak iparku saat chating dan menceritakan perihal kegagalanku pergi ke negeri Musa AS. “Meski kamu tidak belajar di Mesir, kamu bisa kesana untuk bedah novel karyamu”. Itulah salah satu yang menyebabkanku masih semangat. Namun seiring bergulirnya waktu dan berjalannya masa, semangat menulis pun surut. Mungkin jiwa kepenulisanku belum begitu kuat saat itu. Aktivitas pun aku lalui dengan hampa tanpa warna meski sebenarnya aku mendapat banyak hal saat itu seperti ikut kajian dan acara – acara di Pusat Pengembangan Islam (PPIB) Bogor atau di Mesjid Raya Bogor. Malah aku sempat menjadi wakil panitia pada salah satu kegiatan di kedua tempat tersebut. Aku pun tidak jarang menjadi moderator pada Kajian Lintas Kitab di PPIB. Lagi – lagi aku masih merasa hampa.
Untuk mengisi kehampaan itu, aku sebar brosur privat bahasa Inggris. Alhamdulillah, terjaring tiga anak SMA. Semuanya perempuan. Salah satunya adik sepupuku. Tambah lagi tiga orang perempuan lagi. Semuanya SMA. Tidakl lama masuk satu orang SMA, laki – laki.
Alhamdulillah, aku punya kegiatan baru. Namun tetap saja keinginanku untuk belajar di Mesir belum padam. Aku masih berusaha untuk mendapat kesempatan itu dan mempersiapkannya dari sekarang termasuk hafalan Al - Qur’an. (bersambung)

Tidak ada komentar: