Minggu, 29 Juni 2008

Kutemukan jati diriku di Pondok Pesantren

Setelah menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), aku berangkat ke sebuah pondok pesantren salafy (tradisional) daerah Cisarua Bogor, diantar oleh keluargaku satu mobil. Waktu itu belum banyak santri yang datang karena seperti biasa setelah libur panjang Idul Fitri. Saat keluarga yang mengantarku pulang, aku tidak merasakan kesedihan ataupun kecemasan karena jauh dari kedua orang tua dan sanak saudara. Pada waktu malam hari menjelang tidur aku mulai merasa sedih karena teringat orang-orang yang ada di kampung. Keluarga, sahabat, dan kerabat lainnya yang terdekat khususnya. Baru saja kemarin aku masih bercakap-cakap dengan mereka, bercanda ria, tertawa bersama, serta saling bertukar pikiran dengan mereka. Aku berusaha untuk melupakan semua itu karena bisa mengganggu konsentrasi belajarku. Malam itu aku tidak sulit memejamkan mata dan langsung tidur. Namun sekitar pukul 00 : 30 tengah

malam aku terjaga dan meneteskan air mata. Aku bermimpi bermain dengan dengan teman-temanku di kampung dan bertemu dengan saudara-saudaraku. Aku berdo'a kepada Allah SWT. Aku memohon agar tidak terjadi apa-apa terhadap mereka begitupun aku. Aku pun memohon agar Allah SWT memberiku ketenangan.

Sekitar pukul 07 pagi, anak-anak santri mulai mengaji dan membawa kitab-kitabnya ke majlis ta’lim samping masjid tempat ngaji digelar. Kitab-kitab kuning yang dipelajari waktu itu adalah Jurumiyah, Alfiyah, Safinatunnaja, dan Fathul qorib. Pengajian pun dimulai. Seperti biasa, sebelum membahas kitab jurumiyah, sebelumnya selalu diadakan Tanya-jawab. Pak Kyai selalu memberikan pertanyaan-pertanyaan sekitar Nahwu-Sharaf. Jumlah kalimah (kata) yang terdapat pada Kalam (kalimat) tertentu.

Aku salut pada seorang anak santri yang usianya jauh dibawahku. Ia selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan tepat dan cerdas. Biasanya kalau tidak ada yang bisa menjawab, pertanyaan itu dilemparkan kepada orang lain. Giliran dia tidak pernah lewat pertanyaan itu. Subhanallah !

Bagusnya aku tidak ikut ditanya, mungkin karena aku masih baru. Esok harinya, sekitar pukul setengah tujuh pagi sebelum pengajian dimulai, aku dating ke kamarnya untuk belajar seputar Tanya-jawab agar ketika aku ditanya, setidaknya tidak terlalu gelap. Orang itupun memberitahuku. Pada saat pengajian, aku mendapat pertanyaan dan alhamdulillah aku dapat menjawabnya. Dua hari berlalu. Hari ketiga, orang tersebut mencuekkanku. Ia tidak memberitahuku seperti hari-hari sebelumnya. Entah kenapa dia seperti itu. Ternyata menurut santri yang lain, orang itu memang sombong dan jual mahal terhadap ilmu. Harus ada imbalannya kalau mau bertanya seputar ilmu. Aku mulai panik. Aku kwatir tidak bisa menjawab pertanyaan Kyai yang padahal semua itu tidak patut untuk ditakuti. Aku mulai kesal dan bergegas melangkahkan kakiku dengan mantap seraya membaca basmalah. Alhamdulillah sebelumnya aku pernah belajar di pondok pesantren yang tempatnya tidak jauh dari rumahku meski tidak lama. Jadi aku berusaha menjawab pertanyaan sekenanya. Waktu itu tidak diadakan Tanya-jawab, karena pak Kyai mempunyai jadwal tertentu. Jadi dipersingkat.

Kembali ke kamar aku mulai menghafal apa yang aku dapat. Aku bertanya seputar ilmu yang dipelajari disana kepada santri senior pada waktu-waktu kosong. Disanalah aku mulai mengenal dunia persaingan. Dan persaingan itu insyaAllah positif apabila diniatkan dengan ikhlas. Sebelumnya aku tidak pernah mengenal belajar, menghafal, dan bersaing sehat. Tapi saat itu, saya merasa harus membawa sesuatu yang sangat berharga ketika pulang ke kampung halaman. Inilah salah satu langkah awal untuk mencapai itu. Semoga semua itu mendapat rohmat dan ridho dari Allah SWT.

Tidak ada komentar: