Jumat, 18 Juli 2008

Tip Menulis

Perhatian: Pengutipan sebagian atau keseluruhan suatu artikel diperbolehkan dan tidak diperlukan ijin terlebih dulu asal menyebut www.fatihsyuhud.com sebagai sumber pengambilan. Terima kasih
Klik link-link di bawah untuk info lebih detail mengenai tips dan trick menulis di media massa cetak atau online
Tip Menulis di Media Massa Cetak atau Online
• Alamat Email Media Massa Cetak Indonesia
• Bagaimana Memulai Menulis?
• Meresapi Gaya Orang Menulis
• Membina Hubungan dengan Media
• Basis dan Topik Tulisan
• Honor Tulisan dan Biodata Penulis
• Menulis Surat Pembaca
• Menulis Artikel Bahasa Inggris
• Nulis Buku, Pak Dosen!
• Aku Tak Bakat Menulis
Tips Menulis di Blog
• Bahan Menulis Blog
• Panjang Tulisan di Blog
• Bagaimana Supaya Produktif Menulis
• Tips Sukses Menulis di Blog
• Jangan Terobsesi Komentar: Blog Pakar dan Non-Pakar
• Nulis Blog Modal Copy Paste Tulisan Blogger Lain
Bagaimana Memulai
Banyak yang ingin menulis ke media tapi bingung bagaimana memulainya. Ada dua cara:
1. Mempelajari teori menulis baru praktik;
2. Learn the hard way atau menulis dulu teori belakangan.
Terserah kita mana yang lebih enak dan nyaman. Tapi, berdasarkan pengalaman rekan-rekan di India yang tulisannya sudah banyak dimuat di media, alternatif kedua tampaknya lebih bagus. Rizqon Khamami, Zamhasari Jamil, A. Qisai, Tasar Karimuddin, Beben Mulyadi, Jusman Masga, Irwansyah, dan lain-lain semuanya belajar menulis dengan langsung mengirim tulisannya. Bukan dengan belajar teori menulis lebih dulu.

Saya sendiri merasa alternatif kedua lebih enak. Ini karena kemampuan daya serap saya terhadap teori sangat terbatas. Saya pernah mencoba belajar teori menulis. Hasilnya? Pusing. Bukan hanya itu, bahkan dalam belajar bahasa Inggris pun, saya cenderung langsung membaca buku, koran atau majalah. Pernah saya coba belajar bahasa Inggris dengan membaca grammar, hasilnya sama: pusing kepala.
Sulitkah Menulis?
Sulitkah menulis? Iya dan tidak. Sulit karena kita menganggapnya sulit. Mudah kalau kita anggap “santai”. Eep Saifullah Fatah, penulis dan kolomnis beken Indonesia, mengatakan bahwa menulis akan terasa mudah kalau kita tidak terlalu terikat pada aturan orang lain. Artinya, apa yang ingin kita tulis, tulis saja. Sama dengan gaya kita menulis buku diary. Setidaknya, itulah langkah awal kita menulis: menulis menurut gaya dan cara kita sendiri. Setelah beberapa kali kita berhasil mengirim tulisan ke media — dimuat atau tidak itu tidak penting– barulah kita dapat melirik buku-buku teori menulis, untuk mengasah kemampuan menulis kita. Jadi, tulis-tulis dahulu; baca teori menulis kemudian. Seperti kata Rhoma Irama, penyanyi kesayangan Malik Sarumpaet.
Topik Tulisan
Topik tulisan, seperti pernah saya singgung dalam posting beberapa bulan lalu, adalah berupa tanggapan tentang fenomena sosial yang terjadi saat ini. Contoh, apa tanggapan Anda tentang bencana gempa dan tsunami di Aceh? Apa tanggapan Anda seputar pemerintahan SBY? Apa tanggapan Anda tentang dunia pendidikan di Indonesia? Dan lain-lain.
Sekali lagi, usahakan menulis sampai 700 kata dan maksimum 1000 kata. Dan setelah itu, kirimkan langsung ke media yang dituju. Jangan pernah merasa tidak pede. Anda dan redaktur media tsb. kan tidak kenal. Mengapa mesti malu mengirim tulisan? Kirim saja dahulu, dimuat tak dimuat urusan belakangan. Keep in mind: Berani mengirim tulisan ke media adalah prestasi dan mendapat satu pahala. Tulisan dimuat di media berarti dua prestasi dan dua pahala. Seperti kata penulis dan ustadz KBRI, Rizqon Khamami.
Rendah Hati dan Sifat Kompetitif

Apa hubungannya menulis dengan kerendahan hati? Menulis membuat kita menjadi rendah hati, tidak sombong. Karena ketika kita menulis dan tidak dimuat, di situ kita sadar bahwa masih banyak orang lain yang lebih pintar dari kita. Ini terutama bagi rekan-rekan yang sudah menjadi dosen yang di mata mahasiswa-nya mungkin sudah paling ‘wah’ sehingga mendorong perasaan kita jadi ‘wah’ juga alias ke-GR-an.
Nah, menulis dan mengririm tulisan ke media membuat kita terpaksa berhadapan dengan para penulis lain dari dunia dan komunitas lain yang ternyata lebih pintar dari kita yang umurnya juga lebih muda dari kita. Di situ kita sadar, bahwa kemampuan kita masih sangat dangkal. Kita ternyata tidak ada apa-apanya. Ketika kita merasa tidak ada apa-apanya, di saat itulah sebenarnya langkah awal kita menuju kemajuan.
Kita juga akan terbiasa menghargai orang dari isi otaknya bukan dari umur atau senioritasnya apalagi jabatannya.
Di sisi lain, membiasakan mengirim tulisan ke media membuat sikap kita jadi kompetitif. Sekedar diketahui, untuk media seperti KOMPAS, tak kurang dari 70 tulisan opini yang masuk setiap hari, dan hanya 4 tulisan yang dimuat. Bayangkan kalau Anda termasuk dari yang empat itu. Itulah prestasi. Dan dari situlah kita juga belajar menghargai prestasi dan keilmuan serta kekuatan mental juara seseorang.
Meresapi Gaya Orang Menulis
Di bagian sebelumnya disebutkan bahwa cara terbaik memulai menulis adalah LEARN THE HARD WAY. Langsung menulis menurut insting, tanpa belajar teori; bak cowok atau cewek yang rajin menulis diary kala sedang jatuh cinta. Dan langsung dikirim ke media.
Cara lain adalah dengan BANYAK MEMBACA TULISAN/ARTIKEL ORANG yang sudah dimuat. Resapi tutur bahasanya. Teliti cara pengungkapan idenya.

Umumnya tulisan apapun tak luput dari tiga unsur: pengantar, isi dan penutup/kesimpulan. Ketiga unsur ini tak pernah disebut tapi bisa dirasakan. Semakin banyak kita membaca tulisan orang, akan semakin mudah kita menyerap dan membedakan mana yang pengantar, isi dan kesimpulannya; dan semakin mudah kita ‘meneladani’ gaya dan cara ekspresinya.Biasanya kita akan cenderung meniru gaya penulis tenar yang bentuk dan ide tulisannya paling sesuai dengan ide-ide kita. Rizqon, misalnya, yang cenderung terbawa gaya menulis Ulil Abshar-Abdalla, tokoh muda NU idolanya yang walaupun cuma lulus M.A. sudah sering memberikan general lectures di berbagai universitas beken Amerika seperti di Harvard Univ., Michigan Univ., dan lain-lain. Saat ini, Rizqon tampak sudah pindah meneladani gaya tulisan Saifuddin Zuhri, menteri agama RI era Sukarno yang produktif menulis. Anda bisa melihat gaya baru tulisan Rizqon Khamami ini dalam kumpulan tulisannya di situsnya: http://rizqonkham.blogspot.com
Sedangkan Zamakhsyari Jamil cenderung meniru gaya menulis tokoh pujaannya dari Riau, Tabrani Yunis, bekas tokoh Riau Merdeka, yang kolomnis tetap di koran Riau Pos. Tulisan-tulisan Tabrani Yunis yang slengekan dan tajam tampak mewarnai tulisan ustadz muda KBRI ini. Kumpulan tulisannya yang sudah dipublished maupun belum bisa Anda temui di situsnya http://e-tafakkur.blogspot.com
Saya sendiri, yang kata ayah saya “berotak lemah dan bodoh”, cenderung meniru gaya tulisan yang mudah dipaham orang, kendatipun saya tidak terfokus meniru satu gaya tertentu. Tulisan-tulisan Hamka, Amin Rais, Jalaluddin Rahmat sangat mudah dicerna otak saya yang lamban, dan mungkin sedikit banyak mempengaruhi gaya saya menulis.
Bagi Anda yang mulai teraspirasi dengan tulisan tokoh-tokoh terkenal nasional, silahkan berbagi pengalaman dengan menuliskannya di sini atau ke email saya. (bersambung…)
Basis dan Topik Tulisan
Seperti yang sudah disinggung di pada tip sebelumnya, tulisan opini adalah berupa tanggapan dari fenemona yang lagi tren saat ini. Dalam konteks tulisan opini di koran, maka tulisan yang perlu kita tanggapi adalah sebagai berikut:
1. Isi Editorial/Tajuk sebuah media.
2. Headline/Berita utama sebuah media.
3. Tulisan opini.
4. Hari besar Nasional dan Internasional.

Siapapun yang ingin jadi penulis/pengamat hendaknya tidak pernah melewatkan tiga poin pertama di atas setiap kali membaca sebuah koran. Dan selalu mengingat poin ke empat.(1) Tanggapan Editorial/Tajuk sebuah media adalah suara atau sikap resmi dari media yang bersangkutan tentang sebuah kasus/kejadian tertentu; sesuai dengan misi media tsb. Menanggapi editorial/tajuk di harian Kompas tentu saja berbeda dengan cara kita menanggapi editorial di harian Republika, misalnya. Umumnya menanggapi tulisan editorial/tajuk harus cepat. Idealnya, tanggapan untuk tajuk/editorial hari ini dapat dikirim hari ini juga sehingga dapat dimuat esok harinya di media terkait. Namun, kalau tanggapan kita baru selesai dalam dua hari, teruskan dikirim ke media terkait, karena peluang untuk dimuat masih tinggi terutama untuk media yang tak sebesar Kompas.(2) Tanggapan Headline Media/Berita Utama juga bisa dijadikan pijakan untuk menulis. Jangan lupa untuk mencatat nama media/tanggal/bulan headlines yang kita kutip.
(3) Tanggapan Artikel Opini. Artikel opini dikenal juga dengan istilah artikel OP-ED (singkatan dari opini-editorial). Umumnya artikel OP-ED yang menanggapi artikel OP-ED lain berisi tambahan yang lebih lengkap dari yang dibahas sebelumnya atau menentang artikel yang ditanggapi.
(4) Hari besar nasional/internasional adalah tulisan yang isinya berkaitan dengan hari besar pada saat itu. Contoh, pada sekitar 21 Januari mendatang adalah Hari Raya Idul Adha. Siapkan sejak sekarang tulisan yang berkaitan dengan hari idul adha. Dan kirimkan segera ke media sebelum hari H.
Catatan: Umumnya kita mengirim tulisan yang berdasarkan tanggapan atas Editorial atau Headlines pada media yang kita tanggapi. Contoh, tanggapan Editorial/Headlines di Kompas hendaknya dikirim ke Kompas, tidak ke media lain. Namun kalau tidak dimuat di media terkait, tak ada salahnya dikirim ke media lain. Sedangkan untuk artikel OP-ED yang berkaitan dengan hari besar nasional/internasional dapat dikirim ke media mana saja.
Kalau Artikel Tidak Dimuat

Untuk Kompas dan Suara Pembaruan tulisan yang tidak dimuat biasanya mendapat pemberitahuan dari redaksi. Sedangkan di koran-koran lain tanpa pemberitahuan. Umumnya, kalau dalam waktu seminggu tulisan tidak muncul, berarti tulisan kita tidak dimuat dan bisa dikirim ke media/koran lain.
Jangan lupa, tulisan yang sama dapat dikirim ke dua media yang berbeda asal tidak sama segmennya. Contoh, satu tulisan bisa saja dikirim ke media nasional dan media daerah (tentu saja tidak sekaligus di-CC-kan dalam satu email). Tapi jangan sekali-kali mengirim satu tulisan ke dua media yang sama segmennya. Seperti pada dua media nasional atau dua media daerah yang sama. Contoh, Kompas dan Republika (dua media nasional) atau Waspada dan Harian SIB (media daerah Medan).
Sumber: www.fatihsyuhud.com
Media Nasional:
1. Republika:
Redaksi : redaksi@republika.co.id
Sekretariat Redaksi : sekretariat@republika.co.id
Webmaster ROL : webmaster@republika.co.id
2. Kompas:
(1) opini@kompas.com
(2) opini@kompas.co.id
(3)kompas@kompas.com

3. Media Indonesia
redaksi@mediaindonesia.co.id
4. Suara Pembaruan
koransp@suarapembaruan.com
opinisp@suarapembaruan.com

Kamis, 17 Juli 2008

Pengaruh sinetron terhadap perkembangan remaja

Dengan marakaknya sinetron yang melibatkan cinta di usia remaja, membuat para pemirsa televisi di kalangan remaja di Indonesia khususnya, banyak mengikuti jejak para artis yang laksana nabi utusan itu. Padahal, pada awalnya itu cuma cerita yang disuguhkan untuk menghibur khalayak, namun sayang, fungsi itu sudah tidak mempunyai khasiat apa-apa kecuali keburukan moral dan penurunan segala bentuk kreatifitas, ketekunan belajar, dan tanggung jawab seorang siswa terhadap tugas sekolah, seorang anak terhadap diri dan orang tuanya, seorang hamba terhadap penciptanya. Pacaran pun sudah menjadi suatu tradisi bahkan kewajiban yang tak bisa ditinggalkan dalam kesehariannya.Orang yang tidak atau belum memiliki pacar dianggap asing, aneh, langka, dan tidak jarang di bilang kuno, kuper or kuper alias kurang pergaulan. Yang lebih parah lagi, hubungan suami-istri pun dilakukannya tanpa rasa malu atau rasa takut ! masyaAllah !. Dari segi berpakaian sekolah pun, mulai tidak menampakkan jati diri sebagai anak sekolah atau anak yang berpendidikan. Dengan rok diatas lutut, lengan baju yang sudah jelas pendek di lipat lagi biar keren maksudnya.

Lalu siapa yang harus bertanggung jawab ?. Pemerintah, pihak sekolah, orang tua, atau dirinya sendiri ?. Semuanya !. ya, semuanya harus bertanggung jawab !. kenapa ?

Begini saja....., kalau remaja Indonesia seperti itu, bagaimana negara kita yang tercinta ini di masa yang akan datang ?. Sudah jelas kalau yang namanya pejabat pemerintah banyak yang korupsi dan tidak adil, eeh...ditambah lagi dengan perilaku remaja yang tidak sepatutnya....waduh ! mau bagaimana lagi kita ? siapa yang diharapkan ?!

Tapi jangan pesimis dulu !. masih ada kok remaja kita yang berkarya, kreatif, dan berakhlak. Tapi perbandingannya sangat jauh sekali !

Lantas siapa yang patut disalahkan ? dan bagaimana solusinya ?

Sekarang bukan saatnya saling salah-menyalahkan. Yang jelas, kepada pemerintah... perlu adanya peraturan yang mengurus tentang itu. Misalnya, melarang cerita yang berkaitan dengan percintaan di masa remaja atau batasan usia pemain. Kepada pihak film/ sinetron, sekedar menunjukkan rasa kasih sayang bahwa kalian akan ada pertanggung jawabannya di akhirat nanti. Begitupun orang tua. Karena setiap orang adalah pengurus/ pemimpin, dan akan diminta pertanggung jawaban atas yang di pimpinnya (mengutip dari sebuah hadits).

Siapapun kalian, saya percaya kalian masih punya iman. Agama apapun yang dianut kalian, saya yakin kalian masih punya moral dan motivasi untuk maju dan memajukan bangsa. Meskipun tidak dapat dipungkiri kita butuh uang, tapi jangan dijadikan alasan untuk menjadi bodoh dan membodohi orang !. Wewenang pemerintah adalah amanat. Ilmu yang dimiliki seorang Sineas adalah titipan. Anak dari seorang ibu/ ayah terlahir adalah ujian. Lalu... ?

Jangan takut copot dari jabatan kepemerintahan hanya karena adil dan bijaksana !

Jangan takut film/ sinetronnya tidak laku kalau tidak menampilkan adegan ciuman atau cinta sepasang remaja yang tak berdosa !

Jangan takut anaknya tidak pintar dan gaul kalau tidak mengikuti ajaran para selebriti !

Dan... bagi remaja sendiri, jangan pernah menjadi bunglon ! Be yourself !

kalian punya potensi yang dianugerahkan Tuhan. Renungi, gali dan kembangkanlah !.

Semoga negara kita semakin maju dengan diberdayakannya remaja generasi penerus yang mempunyai potensi-potensi yang unik dan berbeda serta membanggakan.

Kamis, 10 Juli 2008

SYUKUR ATAU KUFUR ?




Pertanyaan diatas seringkali kita abaikan. Kita cenderung menikmati pemberian Allah tanpa berpikir bagaimana cara berterima kasihnya. Kita lebih cenderung melihat beberapa kekurangan kita dibandingkan dengan kelebihan dan potensi yang kita miliki, pemberian Allah SWT yang tak kita sadari itu. Apa jadinya nasib dan keadaan kita ketika kita tidak bersyukur kepada Allah SWT ?. Dalam Al-Qur'an telah dijelaskan tentang masalah itu. Perhatikan ayat ke-7 surat Ibrahim, yang (dalam bahasa Indonesia) berbunyi : "apabila kalian bersyukur, pasti akan aku tambahkan nikmatku. Apabila kalian kufur, sesungguhnya siksaku sangat pedih".
Apa yang dimaksud dengan syukur ? dan apa itu kufur ?. Syukur menurut bahasa adalah sekedar ucapan terima kasih, biasanya cukup mengucapkan hamdalah (alhamdulillah). Syukur menurut istilah berarti mengaplikasikan segala potensi dan kemampuan yang kita miliki ke dalam bentuk perbuatan, perkataan, atau apa saja yang berbuah kebaikan, sebagai wujud terima kasih itu. Yang terakhirlah (syukur menurut istilah) yang dimaksud disini. Selain kita mengucapkan ucapan terima kasih 'Alhamdulillah, kita juga mengaplikasikannya ke dalam bentuk kebaikan seperti yang dipaparkan diatas
Sedangkan kufur adalah kebalikan dari syukur, yaitu mengingkari nikmat. Boro-boro berbuat baik sebagai bentuk terima kasih, berterima kasih saja tidak !. Malah yang ada mengeluh, menggerutu, merasa serba kekurangan, dan tidak pernah tercukupi. Padahal kalau bicara masalah cukup atau tidak, ayat diatas dapat menjawab pertanyaan itu. Agar nikmat kita bertambah, hendaknya kita bersyukurlah dulu. Sebaliknya, kalau kita kufur (ingkar nikmat), siksa Allah sangat pedih. Mau dapat tambah malah dapat siksa ! Na 'udzu billah !
Oleh karena itu, sering-seringlah kita berintrospeksi diri, merenungkan, dan menghitung setiap nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT. Setiap saat Setiap waktu.. Agar kita senantiasa bersyukur atas nikmat Allah yang tidak dapat dihitung itu. Sekalipun air laut dijadikan tinta untuk mencatat semua nikmat Allah. Kita renungkan saja nikmat yang kita tahu dan kita rasakan. Seperti nikmatnya melihat. Cara bersyukurnya adalah dengan menggunakan penglihatan itu kepada pandangan yang baik-baik seperti membaca Al-Qur'an dan memahami artinya, membaca buku, merenungi tanda-tanda kekuasaan Allah, dan lain-lain. Kita diberi telinga, kita diberi hidung, kita diberi kemampuan untuk berbicara, dan lain-lain. Gunakanlah fasilitas -fasilitas tersebut kepada hal-hal yang diridhai Allah SWT. Tidak dimanfaatkan dengan semena-mena terhadap hal yang bukan-bukan. Karena semua itu hanya titipan.
Kalau kita tidak bersyukur, dalam arti kufur nikmat, apakah kita keluar dari Islam ?. Tidak. Karena yang dimaksud disini adalah kufur 'amali (perbuatan) bukan kufur i'tiqodi (keyakinan yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kekafiran. Na 'udzu billahi min dzalik.
Jadi intinya.... Syukur dulu, baru nikmat akan ditambah. Insya Allah, bahkan demi Allah. Dia tidak akan menyalahi janjinya. Al-Qur'an adalah kitab suci. Al-Qur'an adalah firman Allah SWT. Wallahu a'lam.

Minggu, 06 Juli 2008

ISTIQAMAH

“maka Istiqamahlah (dalam beramal) sebagaimana yang diperintahkan kepadamu (dalam Al-Qur’an)”. ─ Hud (11) : 112 ─

Sebagian diantara kita ada yang belum atau kurang mengenal istilah/ kata ‘Istiqamah’. Kata ini berasal dari bahasa arab. Kalau dalam bahasa Indonesia, berarti teguh pendirian, tegak, atau konsisten. Tapi menurut para ulama, Istiqamah adalah tetapnya ketaatan kepada Allah SWT

Tidak jarang dan tidak sedikit orang yang goyah keimanannya, komitmen, serta prinsip hidupnya karena alasan-alasan semu meski kelihatannya luar biasa. Contoh, banyak. Seorang artis yang sudah mulai berani buka kerudung karena sudah bercerai dengan suaminya yang paham dalam bidang agama. Seorang kyai atau orang pintar yang terjun ke politik malah terlibat masalah suap dan korupsi. Seorang pemuda yang sebelumnya taat dalam beribadah dan tekun dalam belajar ilmu, setelah terjun ke dunia hiburan, sinetron, iklan, dan film, sholatnya banyak tertinggal, puasanya, serta kegiatan-kegiatan yang lainnya menjadi tidak berkualitas. Masih banyak lagi contoh-contoh yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Ada apa dengan semua ini ?!. Semua disebabkan ketidak konsistenannya dalam menjaga komitmen, memelihara niat, serta tidak konsekuen mengaktualisasikan tujuan semula.

Penyebab ketidak istiqamahannya beragam. Selain dikaruniai akal, manusia juga diberikan nafsu. Nafsu itulah yang mempengaruhi pendirian kita. Tentu saja disini nafsu Fujur (nafsu jahat). Karena ada nafsu Taqwa (yang cenderung kepada kebaikan), ada juga nafsu Fujur (sebaliknya). Tapi disini bukan untuk menjelaskan tentang nafsu.

Alasan lain, karena mungkin niatnya dalam beramal atau melakukan suatu kebaikan tidak ikhlas. Padahal Iblis pun tidak sanggup menggoda orang yang ikhlas. Kebanyakan diantara kita, yang menyebabkan goyahnya pendirian adalah masalah ekonomi.

Sikap istiqomah pernah dicontohkan oleh Rosulullah SAW, ketika dibujuk oleh pamannya Abu Thalib untuk meninggalkan dakwahnya. Rosululllah berkata : “Wahai pamanku, demi Allah, kalau mereka (orang kafir) meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan agama ini (dakwah), tidaklah aku akan meninggalkannya sehingga Allah SWT memberi kemenangan agama ini atau aku hancur di dalamnya”.

Contoh yang lain adalah, kisah Bilal yang tetap mengucapkan kata “Ahad)....ahad....ahad !”, meski dicambuk dan kulitnya melepuh karena dibakar diatas pasir panas dan ditindih batu yang besar diatas perutnya. Subhanallah !.

Bagaimana dengan kita ?.

Semoga kita diberikan taufik dan hidayah agar dapat Istiqamah dijalan-Nya untuk menggapai rohmat, maghfiroh, dan ridha-Nya. Sehingga hidup menjadi (lebih) bermakna. Amin

OPTIMIS !

“katakanlah wahai hamba-hambaku yang melampaui batas terhadap diri-diri mereka sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat allah . sesungguhnya allah mengampuni semua dosa-dosa (kecuali syirik). sesungguhnya Dia maha pengampun lagi maha pengasih” (Azzumar : 53)

Sedih dan prihatin rasanya melihat kondisi bangsa Indonesia saat ini. Selain kenaikan BBM dan bahan-bahan pokok lainnya, juga para petingginya yang… masyaAllah. Orang miskin semakin kelaparan. Anak-anak banyak yang kurang gizi. Banyak orang pinggiran yang terkena penyakit. Mulai dari penyakit demam berdarah sampai penyakit TBC. Orang kaya enak jalan-jalan ke puncak. Pesta pora. Liburan ke luar negeri, tanpa sedikitpun peduli kepada mereka yang susah.

Siapa yang harus disalahkan ?. bukan saatnya saling menyalahkan !. sekalipun butuh jawaban, jawabannya adalah “kita” !. ya. Kitalah yang salah. Salah terlalu mengandalkan pemerintah bukan tawakal kepada Allah dan melakukan usaha semaksimal yang kita mampu tanpa meninggalkan ibadah. Salah karena kita selalu melihat kejelekan orang lain bukan introspeksi diri. Selalu mementingkan diri sendiri daripada orang lain.

Jangan berpikir tidak mempunyai keahlian, ijazah, pengalaman, relasi, atau apapun itu namanya !. jangan ! sekali lagi jangan !. Allah tidak akan menyengsarakan kita. Allah akan memberikan jalan keluar dari semua urusan kita apabila kita bertaqwa. Sudahkah kita taqwa ?. itu masalahnya.

Dalam surat At-Thalaq ayat 2-3, Allah SWT berfirman : “ (2)… barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar (3) Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya…

Mungkin bukan saatnya membahas tentang taqwa, karena kata ini sering kita dengar sejak dari kecil sampai sekarang. Di setiap jum’at atau ceramah-ceramah di pengajian, kata ini sering kita jumpai. Tidak asing ditelinga tapi asing dalam pelaksanaannya. Apakah kita harus berhenti disitu ? tanpa mengadakan perubahan ?. apakah kita terlalu fokus kepada dosa-dosa kita ? salah !

Kalau kita cenderung banyak dosa, minta ampunlah kepada-Nya. Jangan putus asa dari rahmatnya. Perhatikan ayat diatas (Az-Zumar : 53).

Di samping itu jangan pula terlalu menyalahkan diri sendiri tanpa adanya perubahan ke arah yang lebih baik. Yang ada malah depresi, stress, dan gangguan penyakit jiwa lainnya.

Kita harus optimis ! jangan menyerah dengan keadaan !. Rohmat Allah luas !. perhatikan kembali ayat diatas (Az-Zumar : 53) pada poin “jangan berputus asa dari rahmat Allah !”. Meski kita banyak melakukan dosa, baik kepada Allah SWT maupun terhadap hamba-hamba-Nya, Allah sendiri yang melarang kita untuk berputus asa dari rahmat-Nya. Subhanallah ! sungguh Allah SWT maha pengampun lagi maha pengasih.

Orang yang optimis selalu berpikir positif. Seperti melihat setengah gelas air, ia berkata “masih ada setengah lagi”. Sebaliknya orang pesimis berkata : “yaah.. cuma setengah lagi”. Orang optimis selalu melihat kelebihan bukan kekurangan. Selalu melihat kekuatan daripada kelemahan. Menangkap peluang bukan menyia-nyiakannya. Itulah yang selalu diucapkan para motivator sukses

Apalagi yang dikwatirkan ?. Lakukan sesuatu yang dapat meraih keridha-an Allah SWT, mohon pengampunan-Nya ! gapai rahmat-Nya. Jadikan hidup kita lebih berarti dan bahagia Dunia-Akhirat dibawah naungan-Nya. Jangan lupa Istiqamah ! (teguh pendirian). Semoga Allah memberi kita kemudahan-kemudahan dalam menghadapi hidup. Amin